3/25/2013

Konsepsi Islam tentang Ilmu dan Orang yang Berilmu


Dengan ilmu pengetahuan, Allah telah memuliakan manusia. Adam ’alaihis salam, bapak kita semua, diangkat derajatnya oleh Allah diatas para malaikat karena Allah telah menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, yang tidak diberikan kepada para malaikat. Allah juga berjanji bahwa Dia akan mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat. Semua ini mempertegas kemuliaan orang yang berilmu pengetahuan.

Pertanyaannya, siapakah orang yang berilmu pengetahuan itu? Apakah seorang profesor? Atau seorang ilmuwan terkemuka? Atau seorang penemu macam Thomas Alfa Edison? Atau siapa? Jawabannya ada dalam Al-Qur’an. Di bagian akhir QS Ali ’Imran Allah Ta’ala menggambarkan tanda-tanda kekuasannya yang terbentang di alam semesta ini (ayat kauniyah), lalu persis sesudah itu memberikan deskripsi kepada kita tentang sosok ulul albab (orang yang berilmu pengetahuan). Dia berfirman,”(Ulul albab ialah) orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Dan mereka senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi, lalu berkata,’Wahai Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka hindarkanlah kami dari siksa api neraka”.
 
Disini kita melihat bagaimana Allah mengaitkan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bersifat kauniyah dengan sosok ulul albab. Ini adalah sebuah indikasi yang amat jelas bahwa ulul albab adalah orang-orang yang senantiasa melakukan tafakkur (perenungan) terhadap ayat-ayat kauniyah. Dan ini semakin jelas ketika Allah memberikan penegasan secara eksplisit: ”(Ulul albab ialah) ... mereka senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi...”

Namun, tidak hanya sampai disini. Tidaklah semua orang yang merenungi ayat-ayat kauniyah layak disebut sebagai ulul albab. Allah memberikan persyaratan tambahan: ” lalu mereka berkata,’Wahai Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka hindarkanlah kami dari siksa api neraka”. Disini dijelaskan bahwa perenungan terhadap ayat-ayat kauniyah harus membawa seseorang pada sebuah kasadaran dan pengakuan akan kebesaran Allah Sang Pencipta dan Pengatur. Tidak hanya sebuah kesadaran dan pengakuan, namun juga konsekuensi logis dari hal tersebut: meningkatnya rasa takut kepada Allah. Sudah barang tentu ketika seseorang menyadari kebesaran Allah maka iapun akan menjadi takut kepada-Nya. Untuk itulah Allah menjelaskan bagaimana ulul albab sampai pada permohonannya yang tulus: ”Maka hindarkanlah aku dari siksa api neraka.”

Demikianlah konsepsi Al-Qur’an tentang orang yang berilmu pengetahuan, yaitu orang yang senantiasa merenungi ayat-ayat kauniyah, lalu sampai pada kesadaran dan pengakuan pada kebesaran Allah, dan akhirnya sampai pada puncak rasa takut kepada-Nya. Kesimpulannya, ilmu pengetahuan semestinya mengantarkan pemiliknya pada peningkatan ketakwaan dan rasa takut kepada Allah. Dan dengan demikian, dalam Islam seseorang baru disebut berilmu pengetahuan jika ilmu pengetahuan yang dimiliknya mengantarkannya pada rasa takut yang sangat kepada Allah. Dengan tafsiran seperti inilah kita memahami firman Allah dalam QS Faathir: ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu pengetahuan (ulama).”

Lalu bagaimana dengan kenyataan di sekeliling kita dimana kita sering melihat orang-orang yang biasa disebut berilmu pengetahuan, ilmuwan dan semacamnya, namun sama sekali tidak beriman, tidak bertakwa, dan tidak takut kepada Allah. Bahkan mungkin sebaliknya. Jawabannya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka belum sampai pada puncak dan hakikat ilmu pengetahuan yang mereka pelajari. Mereka baru mendapati kulit dari ilmu pengetahuan yang mereka pelajari, belum inti dan hakikatnya. Kedua, mereka sudah mendapatkan hakikat dibalik ilmu pengetahuan yang mereka pelajari namun mereka tidak bersikap jujur. Mereka membohongi diri mereka sendiri, dengan motif yang bisa beragam.

Dari konsepsi tentang orang yang berilmu pengetahuan sebagaimana dijelaskan diatas, kita juga menjadi paham mengapa Islam tidak mengenal sekularisasi ilmu pengetahuan. Dalam Islam, ilmu sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan keimanan dan ketakwaan. Tanpa keimanan dan ketakwaan, sesuatu tidak bisa disebut sebagai ilmu. Dan tanpa ilmu, tidak mungkin kita bisa mencapai puncak keimanan dan ketakwaan. Persis seperti dua sisi mata uang.

Karena itu, kita semua punya pekerjaan rumah untuk mengintegrasikan kembali ilmu dan iman, setelah sebelum ini sengaja dipisahkan satu sama lain. Jika kita mampu mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan dan iman-takwa, insyaalah derajat kita akan diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amin.
 
Sumber : Menara-Islam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar